PADANG, - Mantan Kapolda Sumbar Irjen Pol (Purn) Fakhrizal kembali angkat bicara terkait polemik tanah 765 hektare di empat kelurahan Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang.
Menurutnya, diperlukan ketegasan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menentukan apakah tanah tersebut milik negara atau kaum Maboet.
“Di satu sisi, BPN menyebut status tanah ini adalah Tanah Negara, dan memang sudah banyak sertifikat yang terbit di atas tanah itu, dengan alas hak Tanah Negara. Namun, BPN juga mengeluarkan surat-surat yang menyebutkan status tanah ini adalah Tanah Adat milik Kaum Maboet, ” kata Fakhrizal kepada wartawan di Padang, Selasa (6/12/2022).
Fakhrizal berharap agar Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Sumbar dan Kepala Kantor BPN Kota Padang, mempertegas status tanah tersebut. Sehingga, jika memang ditetapkan sebagai Tanah Negara 1794, maka BPN harus menganulir surat yang dikeluarkan oleh Kakan BPN Kota Padang Elfidian pada tanggal 24 Juli 2019, yang menyatakan bahwa objek tanah tersebut merupakan hak milik kaum Maboet dengan Lehar sebagai Mamak Kepala Waris (MKW).
Terlebih, sambung Fakhrizal, surat-surat itu sudah dikirim kepada Menteri ATR/BPN RI, Ketua KPK RI, Gubernur Sumbar, Kapolda Sumbar, Kajati Sumbar, Kakanwil BPN Sumbar, Wali Kota Padang, Kapolresta Padang, Kajari Padang, Camat Koto Tangah, Lurah di empat kelurahan, Ketua KAN Koto Tangah, Ketua KAN Nanggalo, Ketua LKAAM Sumbar, dan pada ahli waris Kaum Maboet MKW Lehar.
“Saya yakin, sebelum mengeluarkan surat itu, BPN Padang sudah melalui pertimbangan yang matang dan memiliki dasar yang kuat. Tetapi, kalau berani mengeluarkan surat, tentu juga harus berani pula menganulirnya, serta berani mempertanggungjawabkan akibat hukum yang datang sesudahnya. Saya rasa ini akan bagus karena akan ketahuan di mana salahnya dan siapa yang harus bertanggung jawab, ” ujarnya lagi.
Ada pun jika status tanah sudah dipertegas, sehingga konsekuensi hukum yang mengiringinya juga ditempuh, Fakhrizal menilai pihak-pihak terkait di BPN juga harus bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan yang selama ini terjadi di atas tanah seluas 765 hektare itu.
Fakhrizal juga menilai, proses hukum yang tegas dan berkeadilan sangat penting diambil demi menjaga hak-hak masyarakat yang bermukim di atas tanah tersebut. Sebab jika tidak, masalah ini ia nilai tidak akan pernah selesai, dan dampak lebih jauhnya adalah pengembangan nilai ekonomis dari tanah-tanah tersebut yang bakal terhambat.
“Siapa pula yang berani ‘membangun’ kalau tanahnya masih bermasalah seperti itu. Menurut saya, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam penyelesaian masalah ini. Pertama, terkait kepastian hukum hak tanah bagi Kaum Maboet yang memang telah lama mereka perjuangkan. Kedua, nasib ribuan warga yang tinggal di atas tanah itu. Ketiga, penyelamatan uang negara dari potensi korupsi yang bisa terjadi di atas tanah 765 hektare itu, ” ucap Fakhrizal lagi.
BPN dan pihak-pihak lainnya, sambungnya, juga tidak berhak mengatakan bahwa putusan pengadilan terkait objek tanah 765 hektare tersebut, sebagai error in objekto dalam proses keperdataannya. Selain itu, katanya lagi, surat yang di keluarkan BPN Kota Padang juga dokumen negara yang berkekuatan hukum.
Fakhrizal juga menceritakan, saat menjabat Kapolda Sumbar lalu sudah mencarikan solusi yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak terkait polemik tanah tersebut. Saat itu, ujarnya, disepakati bahwa pihak Maboet tidak akan mempermasalahkan atau memiliki tanah yang sudah ada bangunan milik masyarakat , begitu juga kantor kantor pemerintahan, kampus, dan yayasan.
Kemudian, pihak Maboet hanya minta kalau ada tanah yang masih kosong yang bisa dimiliki oleh Kaumnya dan kemudian kita sosialisakan ke masyarakat dan pihak pihak yang ada kepentingan di atas tanah itu.
"Diantaranya tokoh tokoh masyarakat di atas tanah tersebut , pengurus Yayasan Bung Hatta dihadiri oleh Prof Ganefri dengan beberapa pengurus, Yayasan Baiturrahmah dihadiri oleh Prof Musliar Kasim dan Bu Je bersama anak beliau sehingga situasi tenang, tidak ada kegaduhan sambil kita tuntaskan proses hukumnya, " ungkap Fakhrizal.
Sementara itu, terkait keterangan yang disampaikan Fakhrizal, covesia.com telah berusaha melakukan konfirmasi kepada Kepala Kanwil BPN Sumbar, Saiful, namun belum ada tanggapan.
Selanjutnya Kakan BPN Padang Antoni menegaskan bahwa terkait persoalan tanah seluas 765 hektare tersebut, pihaknya tetap berpedoman pada ketentuan terhadap penguasaan fisik di atas dan tanah negara bekas recht van eigendom No.1974.
“Di luar bidang tanah sebagaimana dimaksud, sebelum diterbitkan sertifikatnya, dapat diproses permohonan haknya. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ini yang menjadi pedoman bagi kami, ” ucapnya kepada wartawan.(**)